Liputan6.com, New York - Harga minyak dunia amblas. Sementara mata uang di negara-negara berkembang terus merosot parah, tak terkecuali rupiah yang sempat menyentuh 16.000 per dolar AS. Tak hanya itu, Venezuela dirudung krisis finansial dan Rusia tenggelam ke dalam batas pembayaran utang dan devaluasi ekonomi.
Seluruh kondisi tersebut terjadi pada 1998.
Kondisi di negara-negara berkembang tersebut seolah sangat mirip dengan berbagai situasi ekonomi yang terjadi saat ini, pada 2014. Meski begitu, masih banyak perubahaan kunci yang bisa dilakukan untuk keluar dari jebakan krisis ekonomi yang pernah terjadi pada 1998.
Demi mengetahui bagaimana kondisi perekonomian beberapa negara berkembang saat ini, berikut persamaannya dengan krisis finansial 1998 seperti dilansir dari laman Bloomberg, Selasa (16/12/2014):
1. Harga minyak global anjlok
Harga minyak telah anjlok hingga 48 persen sejak Juni hingga sekitar US$ 55 per barel dan menekan para eksportir dari Venezuela hingga Rusia dan Nigeria. Kegagalan pembayaran kredit juga menunjukkan kemungkinan sebesar 98 persen bahwa Venezuela akan bangkrut dalam lima tahun.
Sementara ekonomi Rusia yang kini berada dalam kekangan sanksi Uni Eropa dan Amerika Serikat akan berkontraksi sebesar 4,7 persen tahun depan. Itu bisa terjadi jika harga minyak masih berada di kisaran US$ 60 per barel.
2. Nilai tukar mata uang jatuh
Bloomberg menemukan, 20 mata uang negara berkembang yang paling sering diperdagangkan anjlok hingga ke level terendah sejak 2003 pada perdagangan 15 Desember. Ruble anjlok hingga ke level 64 per dolar AS untuk pertama kalinya.
Tak hanya itu, rupiah juga sempat menyentuh level terendahnya pada 1998. Begitu pula Lira Turki yang ambruk ke level terendah sepanjang sejarah.
Selama krisis finansial Asia pada 1997 dan 1998, negara-negara dari Thailand hingga Malaysia juga melakukan berbagai upaya untuk melindungi mata uangnya. Saat itu, hanya dalam enam bulan, nilai tukar Baht melemah hingga 50 persen terhadap dolar.
3. Kebijakan Bank Sentral AS (The Fed)
The Fed kini tengah menata rencana untuk menaikkan suku bunganya yang tetap rendah sejak 2006 dan mengancam keringnya dana asing di negara-negara berkembang.
Bank Dunia memprediksi aliran dana asing ke negara-negara berkembang dapat anjlok hingga 50 persen saat The Fed menaikkan suku bunganya sebesar satu persen.
Negara-negara dengan defisit transaksi berjalan paling besar menjadi yang paling berisiko, termasuk Turki, Afrika Selatan dan Brasil. Begitu juga negara-negara seperti Malaysia di mana investor asing memegang 30 persen dari utang pemerintah.
Rangkaian peningkatan suku bunga The Fed di pertengahan 1990-an memicu pelemahan mata uang negara-negara Asia dan menyebabkan kebangkrutan di Rusia. (Sis/Ahm)
Source: http://ift.tt/1A1kCtS
No comments:
Post a Comment