Friday, 29 August 2014

Dua Jurnalis Prancis di Papua Ditahan Imigrasi

Setelah di tahan Polda Papua, dua wartawan Prancis yakni Thomas Charles Dandies (40), dan Loise Maria Vallentine Baurrat (29), saat ini ditahan di ruang tahanan Kantor Imigrasi (Kanim) Jayapura, Provinsi Papua.


Keduanya teridentifikasi sebagai wartawan televisi Arte TV dan majalah Paris Match, berdasarkan informasi surat resmi dari perusahaan pers di Prancis.


Bahkan, Thomas merupakan salah satu wartawan terkenal di Prancis dan bekerja di banyak media, termasuk televisi Arte TV dan majalah Paris Match.


Sedangkan Vallentine masih tergolong baru di kalangan wartawan Prancis, namun ayahnya merupakan wartawan senior yang cukup dihormati di Prancis.


Thomas dan Vallentine diamankan aparat kepolisian di salah satu hotel kawasan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, pada 7 Agustus 2014.


Keduanya terlihat sedang berboncengan sepeda motor dengan warga setempat, sehingga aparat kepolisian curiga, mengingat Kabupaten Jayawijaya tergolong daerah rawan kasus penembakan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).


Polisi Jayawijaya pun mendatangi warga asing itu di tempat penginapannya untuk mengetahui maksud dan tujuan berada di daerah itu, apalagi ia terlihat mondar-mandir dengan sepeda motor di tengah malam.


Awalnya, keduanya mengaku turis, tetapi setelah dimintai keterangan lebih lanjut mereka mengaku sebagai jurnalis, meskipun mereka berada di Papua menggunakan visa turis.


Hampir sepekan, kedua wartawan asing itu diinterogasi polisi Polda Papua, guna memperjelas ada tidaknya keterlibatan mereka dalam memprovokasi kelompok KKB yang belakangan ini sering berbuat onar, seperti menembak mati aparat kepolisian, satuan TNI, dan masyarakat sipil.


Kedua wartawan berkedok turis Prancis itu terindikasi melakukan pekerjaan jurnalistik seperti mewawancarai sejumlah narasumber di kawasan pedalaman Papua.


Bahkan, narasumber yang diwawancarai itu dikabarkan merupakan kelompok sipil bersenjata atau antek Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang selama ini menentang pemerintah dan aparat kepolisian serta TNI yang bertugas di kawasan tersebut.


Dikabarkan, sebelum diamankan, mereka sedang berupaya ke kawasan Tiom untuk bertemu dengan kelompok bersenjata Enden Wanimbo.


Wakapolda Papua Brigjen Pol Paulus Waterpauw sempat mengungkapkan bahwa keduanya melakukan peliputan dan bertemu sejumlah kelompok bersenjata di Jayapura dan Wamena.


Bahkan, kata Waterpauw, kedua jurnalis asing itu juga bertemu dengan mantan narapidana kasus makar yakni Forkorus Yoboisembut yang juga menjabat Ketua Dewan Adat Papua (DAP).


Forkorus dihukum terkait perkara makar tahun 2011 dan baru menghirup kebebasan 21 Juli lalu.


“Penyidik telah menyita sejumlah barang bukti seperti hasil liputan mengenai kelompok bersenjata di Kabupaten Lanny Jaya,” ujarnya.


Polisi juga menemui kejanggalan dokumen perjalanan lintas negara, seperti paspor ganda yang dimiliki Vallentine.


Valentina Burrot memiliki paspor dinas dan sipil yang kedua masih berlaku. Paspor dinas itu diterbitkan Kedutaan Besar Prancis di Tel Aviv.


Wanita itu juga masih bekerja di Arte TV Prancis, namun penyidik tak menemukan kartu pers miliknya.


Sedangkan kartu pers Thomas Charles habis masa berlakunya sejak 2006.


Meski sarat kejanggalan, namun akhirnya polisi pun masih meragukan dugaan keterlibatan “makar” terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga memilih menyerahkan kedua wartawan itu kepada pejabat imigrasi.


“Kami telusuri kemungkinan mereka terjerat pasal makar terhadap kedaulatan NKRI, dan kalau ada indikasi kami proses. Kalau pelanggaran imigrasi sudah jelas, sehingga akan kami serahkan ke Kanim Jayapura,” ujar Brigjen Waterpauw, usai pertemuan koordinasi di Mapolda, sebelum kedua wartawan Prancis itu diserahkan ke Kanim jayapura.


Setelah diserahkan ke Kanim Jayapura, kedua wartawan asing itu lebih banyak ditanya soal ketentuan imigrasi.


Pelanggaran imigrasi Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Papua Luki Agung Binarto, memastikan dua wartawan Prancis itu melanggar ketentuan imigrasi.


“Kedua wartawan Prancis itu masuk ke Indonesia menggunakan visa turis namun terlibat pekerjaan jurnalistik, sehingga mereka melanggar Pasal 122 huruf a dari UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yakni penyalahgunaan izin bepergian ke Indonesia,” ujarnya.


Kedua wartawan Prancis itu masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, kemudian menuju Papua hingga sampai di Kabupaten Jayawijaya.


Kedua WNA berkebangsaan Prancis itu resmi berstatus tersangka pelanggaran keimigrasian sejak 13 Agustus 2014.


Pascapenetapan tersangka, Kedutaan Besar (Kedubes) Prancis di Jakarta, menunjuk Todung Mulya Lubis and Partners sebagai pengacara kedua wartawan Prancis itu.


Todung sempat mengupayakan penangguhan penahanan, namun pejabat imigrasi tidak bergeming, dan tetap memberlakukan penahanan demi kelancaran proses penyidikan.


Surat permohonan penangguhan penahanan tertanggal 16 Agustus 2014 itu pun dialamatkan kepada Menteri Hukum dan HAM RI, disertai berbagai alasan, namun hingga kini belum membuahkan hasil.


Kepala Kantor Imigrasi (Kakanim) Jayapura Gardu D Tampubolon menegaskan bahwa dua warga Prancis itu tetap ditahan di ruang tahanan imigrasi, dan tidak akan kemana-mana sampai pelimpahan berkas perkara beserta kedua tersangka ke Pengadilan Negeri (PN) Jayapura.


“Sampai berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan baru keluar dari Kanim Jayapura,” ujarnya.


Gardu juga mengungkapkan bahwa sempat akan dilakukan pemindahan tahanan, dari ruang tahanan Kanim Jayapura, ke ruang tahanan Mapolda Papua, yang dilayangkan Atase Pertahanan kedubes Prancis, namun akhirnya tidak terlaksana karena sejumlah pertimbangan teknis.


Pejabat imigrasi itu makin yakin kedua wartawan Prancis itu “nyelonong” ke daerah peliputan di wilayah hukum Kanim Jayapura hanya berbekal visa turis.


Ia pun makin yakini Thomas dan Vallentine merupakan wartawan Prancis, setelah menerima surat dari lima perusahaan pers di Prancis, yang menegaskan bahwa keduanya merupakan wartawan.


“Kasus ini menjadi menarik, ketika perusahaan pers di Prancis menyurati kami dan menegaskan bahwa salah satunya merupakan wartawan terkenal di Prancis. Tentu, kami pun akan membuktikan bahwa keduanya melanggar aturan keimigrasian,” ujar Gardu.


Kini, Gardu dan pejabat imigrasi lainnya di Jayapura telah bertekad untuk menghukum kedua wartawan Prancis itu. Sanggupkah pejabat imigrasi membuktikan indikasi pelanggaran keimigrasian itu di pengadilan?, ataukah sebaliknya. (Antara)






Sumber http://ift.tt/1lkaVST

via suara.com

No comments:

Post a Comment